Sejarah Desa
Desa Panjerejo merupakan salah satu desa di kecamatan Rejotangan, Tulungagung, terdiri dari tiga dusun, yaitu Baran, Panjerejo Tengah, dan Panjerejo Kidul.
Desa Panjerejo berbatasan dengan beberapa desa tetangga. Sebelah barat berbatasan dengan desa Sunberingin Kidul. Sebelah utara berbatasan dengan desa Kalangan dan desa Ngunut. Sebelah timur berbatasan dengan desa Karangsari. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Tenggong. Sebelah baratlaut berbatasan dengan desa Karangsono.
Secara geografis, wilayah desa Panjerejo berada di selatan dan utara sungai Coban. Diperkirakan sungai tersebut merupakan sungai kuna yang sejak lama mengalir di tengah desa Panjerejo. Sebagian besar pemukiman penduduk berada di utara sungai Coban, sedangkan wilayah desa Panjerejo di selatan sungai Coban merupakan areal pesawahan.
Dalam kajian sejarah, desa Panjerejo sebenarnya sejak lama sudah memiliki tata pemerintahan. Berdasarkan penemuan prasasti bertarikh 20 April 1200M, desa ini sudah tampil sejak jaman kerajaan Panjalu.
Sekarang prasasti yang terbuat dari batu andesit itu berada di tengah makam Soka yang secara administrative masuk desa Karangsari.
Makam Soka persis di garis batas desa Panjerejo dan Karangsari, atau berada di timur jalan desa yang menjadi batas wilayah dua desa ini. Tetapi fakta sejarah menunjukkan, ketika pertama ditemukan, prasasti ini berdiri di wilayah desa Pandjerrejo. Berdasarkan peta topografi kecamatan Ngunut [lembar 52/XLIII D2. Edisi tahun 1944], titik temuan prasasti berada di desa Pandjerrejo.
Pada 1888, Dr. JLA Brandes melaporkan keberadaan prasasti di desa Pandjerrejo, Tulungagung. Laporan tersebut dimuat dalam Notulen van de Algemeene en Bestuursvergaderingen van het Bataviaasch Genotschap Van Kunsten en Wetensccappen XXVI, menyebutkan prasasti ini dikeluarkan raja sri Sarweswara Triwikramawataranindita Srenggalanchana Digjayottunggadewa dan berangka tahun saka 1122. Laporan Brandes ini merupakan laporan pertama kali prasasti Galunguɳ.
Laporan berikutnya oleh Dr. R.D.M Verbeek pada tahun 1891 dalam Verhandelingen van het Koninklijk Bataviaasch Genotschap van Kunsten en Wetenscchappen halaman 266. Lalu Ch Damais dalam Etude d’Epigraphie Indonesienne IV menyajikan alih aksara sebanyak empat baris.
Suatu prasasti raja biasanya dikeluarkan kepada seorang tokoh atau suatu wilayah. Penamaan suatu prasasti yang selama ini disepakati para ahli sejarah dapat mengacu pada lokasi temuan, pada nama wilayah yang mendapat anugerah, dan penamaan prasasti juga dapat menggunakan nama raja yang mengeluarkannya.
Prasasti bertarikh 20 April 1200M dikeluarkan raja Srengga atau Kertajaya kepada daerah bernama Galunguɳ. Sementara ketika pertama kali ditemukan, prasasti ini berada di desa bernama Pandjerrejo.
Mengacu pada aturan penamaan suatu prasasti, maka prasasti ini dapat dinamakan prasasti Kertajaya, prasasti Galunguɳ, atau prasasti Panjerejo.
Latarbelakang Sejarah
Dalam catatan sejarah, kerajaan Panjalu Kediri merupakan salah satu kerajaan Erlangga yang dipecah dua pada sekitar 1042M. Satu kerajaan lainnya adalah Jenggala. Dua kerajaan ini sejak awal sudah menjalin sikap permusuhan. Beberapa kali sempat terjadi penyatuan, tetapi kemudian kembali melakukan peperangan bahkan ketika Sri Sarwweswara atau raja Srengga bertahta sebagai raja Panjalu terakhir.
Pada 1194M, terjadi peperangan antara Panjalu dan Jenggala dimana pada saat itu raja Panjalu tersingkir ke selatan sungai Brantas dan berkubu di daerah Kalangbret atau Katandan Sakapat. Sampai kemudian raja Srengga berhasil kembali ke istana setelah mendapat pertolongan besar dari para penduduk wilayah Katandan Sakapat.
Dari kejadiana itu, raja Srengga mengeluarkan anugerah yang tertulis dalam prasasti batu. Karena pertama kali ditemukan di desa Kamulan, sekarang prasasti bertarikh 31 Agustus 1194 itu dikenal sebagai prasasti Kamulan.
Prasasti Kamulan memuat keterangan bahwa Samya Haji Katandan Sakapat berdatang sembah ke hadapan raja dengan perantaraan Pangalasan bernama Geng Adeg, memberitahukan bahwa mereka menyimpan prasasti di atas daun lontar yang telah mereka terima dari raja yang dicandikan di Jawa, yaitu Haji Tumandah, mereka mohon prasasti mereka itu dipindahkan ke atas batu dengan cap kerajaan Kertajaya.
Permohonan itu dikabulkan karena parasamya Haji Katandan sakapat itu memperlihatkan kesetiaan mereka terhadap raja sebagaimana layaknya sikap hamba raja. Mereka itu telah berhasil mengembalikan ke singgasana di Kadiri, setelah sebelumnya terpaksa meninggalkan istana karena ada serangan musuh dari sebelah timur, maka ditulislah prasasti di atas batu yang memuat perincian anugerah Sri Tumandah dan Sri Rajakula berupa hak-hak istimewa, ditambah lagi dengan anugerah dari Sri Raja Srengga berupa pemberian hak-hak istimewa lainnya.
Sekitar enam tahun kemudian, pada tahun saka 1122 bulan waisaka tanggal 5 paroterang wara tunglai wagai wrhaspati wuku julungpujut. atau Kamis Wage 20 April 1200M, maharaja Pangjalu Sri Sarwweswara Triwikramawataranindita Srnggalanchana Digjayottunggadewanama kembali memberikan anugrah sima perdikan kepada satu wilayah di selatan sungai Brantas, yaitu kepada Duwan di Galungung.
Latarbelakang keluarnya prasasti ini ternyata sama dengan prasasti Kamulan, yaitu dikeluarkan dalam rangka pemberian anugerah tambahan atau anugraha pawuwuh. Kuat dugaan bahwa keluarnya keputusan raja berkaitan dengan peristiwa peperangan yang terjadi enam tahun sebelumnya.
Prasasti ini menyebutkan bahwa Duwan di Galunguɳ pernah menerima anugrah sima perdikan dari raja yang dikenal sebagai Haji Pangjalu. Yang dimaksud sebagai Haji Pangjalu, tidak lain adalah raja Srengga. Jadi ketika terjadi peperangan pada 1194M, penduduk Galunguɳ ikut berperan membantu raja menyerbu Jenggala yang berpusat di timur gunung Kawi. Dalam prasasti ini menulis Haji Jayapurwwa, artinya raja yang meraih kemenangan di timur.
Tetapi anugerah yang diberikan Haji Pangjalu kepada Duwan di Galunguɳ itu masih ditulis dalam ripta atau dalam rontal. Mereka ingin supaya anugrah tersebut mendapat pengukuhan kerajaan dan ditulis atau dipahat dalam Lingopala atau tugu batu.
Permohonan pemindahan anugrah dari ripta ke lingopala dimaksudkan supaya hak-hak serta segala hukum yang termuat dalam anugerah raja lebih jelas atau tegas dan dapat diketahui semua penduduk atau siapapun yang masuh wilayah Galunguɳ. Penulisan dalam lingopala atau tugu batu juga bertujuan supaya anugrah dari raja dapat bertahan lama. Jika tetap ditulis dalam ripta, berkemungkinan rusak atau hilang sehingga hukum dan segala hak istimewanya menjadi tidak jelas.
Karena itulah Duwan di Galunggung yang dipimpin sang panji Smajansa segera berdatang sembah menghadap raja menyampaikan permohonan melalui perantara seorang pejabat bernama Judwisanjuk mpu Paramadewa Mapanji Sinhabutanama putra waraha. Duwan di Galunguɳ berharap anugrah Haji Pangjalu tersebut segera mendapat pengukuhan kerajaan dengan adanya cap kerajaan Krtajaya atau raja Srengga.
Sebagai upaya menghargai segala keteguhan Duwan di Galunguɳ dalam peperangan di trtajusraha, raja Srengga akhirnya mengabulkan permohonan itu, segera memerintahkan pengukuhan anugrah sima perdikan kepada Duwan di Galunguɳ yang dipahat dalam tugu batu atau lingopala bertanda kerajaan Krtajaya. Bertugas sebagai pelaksana perintah pengukuhan anugrah adalah para tanda rakryan ring pakirakiran yang dipimpin rakryan kanuruhan mpu iswara mapanji sweta.
Selain meneguhkan anugrah sebelumnya, Raja Srengga juga menambahkan beberapa hak istimewa lainnya seperti dibolehkan menanam sejenis pohon tertentu, boleh melakukan semedi, menaiki kereta untuk berburu yang bergambar buksa, boleh memakai kain berumbai, mengambil ikan kering, dan boleh menyusun batu.
Selain memuat kutukan atau sapatha, dalam prasasti Galunguɳ atau prasasti Panjerejo memuat ketentuan tentang denda yang harus dibayar oleh mereka yang melanggar ketentuan hukum. Apabila ada yang merusak dengan paksa segala ketentuan dalam prasasti, akan dikenakan denda sebesar 2 kati 10 suwarna. Denda ini berlaku bagi semua golongan masyarakat yaitu golongan brahmana, resi, ksatria, waisya, dan sudra.
Penetapan besarnya denda menunjukkan bahwa peraturan hukum di Galunguɳ sangat ketat dan tegas serta menunjukkan adanya hubungan kepemerintahan antara istana denagn Galunguɳ. Ini juga menunjukkan daerah sima perdikan Galunggung telah memiliki tata pemerintahan resmi sejak pengukuhan anugrah dalam lingopala atau tugu batu.
Prasasti Galunggung merupakan prasasti yang berisi hak dan ketentuan daerah Sima. Daerah sima perdikan adalah daerah merdeka mandiri yang berhak mengadakan pemerintahan sendiri, berhak memberlakukan hukum sendiri. Jika suatu daerah perdikan berada dalam wilayah suatu kadipaten atau keraton bawahan, daerah perdikan tetap tidak boleh mendapat campurtangan dalam persoalan apapun dari adipati maupun raja daerah. Boleh dibilang, meski dari segi kewilayahan hanya seluas desa atau dusun, tetapi daerah sima perdikan memiliki kedudukan hukum yang setara dengan kadipaten atau keraton bawahan, karena berada langsung di bawah kekuasaan raja. Dalam sejarah, daerah atau desa perdikan kerajaan mendapat perlakuan istimewa dan sangat dihormati raja yang berkuasa.
Pada bagian akhir prasasti memuat beberapa nama pejabat atau tokoh Duwan di Galunggung, terutama yang berhubungan dengan pemberian anugerah raja Srengga. Berdasarkan penelitian Masintan Karo Sekali pada tahun 2004, hanya beberapa nama pejabat saja yang dapat terbaca lantaran permukaan prasasti telah mengalami keausan pada bagian ini. Nama-nama pejabat itu antaralain Arankepi Bakamikamin nama putra Kuturan, buyuthadyan makasirkasir Kebo Ra nama putra sungsung, juru makasirkasir wunkawunka jikasatru nama putra samisamamandalwa, purwakanja gunahu nama putra turrmaja, matungkul nama putra tkapasihaya, madapatra harimas jawasapa namaputra giditdamilu nila, nama putra mapanji, nama putra wikanta.
Dari penyebutan beberapa nama tokoh atau pejabat Duwan di Galunguɳ, kiranya dapat ditafsirkan bahwa pada masa itu Galunguɳ sudah memiliki struktur pemerintahan yang lengkap dan tertata, masing-masing memiliki tugas tertentu seperti juru makasirkasir, menurut Zoetmulder berarti petugas pembawa panji yang identik dengan peran kemiliteran.
Berdasarkan sumber prasasti penataan wilayah Panjalu Kediri telah mengalami perubahan dari masa sebelumnya. Administrasi pemerintahan lebih memusat. Istilah Watek dan Wanua tidak dikenal lagi, berganti dengan Thani yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Wanua. Dalam sebuah Thani tinggal beberapa Duwan. Dalam suatu Thani terdapat pembagian wilayah yang lebih kecil yang tidak diketahui namanya yang dipimpin atau diurus oleh para Duwan. Para Duwan ini dapat menerima anugrah langsung dari seorang raja atau dari pemerintahan pusat tanpa melalui pimpinan Thani. Hal ini ada kemungkinan karena seorang Duwan merupakan anggota dewan pemimpin suatu Thani.
Dalam prasasti Galunguɳ tidak memberi kejelasan atau keterangan lengkap tentang struktur kewilayahan. Tidak ada penyebutan Thani, yang ada hanya Duwan di Galunggung. Daerah Galunggung sendiri tidak dapat teridentifikasi lagi pada masa sekarang. Nama Galunggung tidak dikenal lagi di sekitar daerah tempat prasasti ini sekarang berdiri.
Penelitian sejarah menunjukkan bahwa prasasti bertarikh 20 April 1200M merupakan jenis prasasti in situ, artinya masih tetap berada di tempat pertama didirikan. Umumnya suatu prasasti selalu didirikan di tengah suatu desa atau wilayah penerima anugrah. Prasasti ini diberikan kepada wilayah Galunguɳ. Sementara pada waktu ditemukan 1888M, prasasti ini berdiri di desa Panjerejo. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa desa Panjerejo merupakan nama baru dari Galunguɳ. Karenanya prasasti ini dapat digunakan sebagai rujukan atau landasan untuk menentukan sejarah berdirinya desa Panjerejo.
Panjer berasal dari kata sansekerta yaitu Pancer yang artinya pusat. Kemunculan istilah Panjer sangat berkaitan erat dengan kedudukan daerah Galunguɳ yang sejak jaman Panjalu Kediri menjadi salah satu pusat pemerintahan dan ekonomi di Brang Kidul atau selatan sungai Brantas.
Kuatnya dugaan daerah Galunguɳ atau Panjerejo sekarang sebagai tempat perkembangan ekonomi juga terbaca dalam prasasti yang menulis ada beberapa kelompok masyarakat asing seperti Jenggi atau orang Afrika, Kling atau orang India, dan menulis keberadaan orang Cempa. Hal itu tentu dimungkinkan karena daerah Galungan dapat dikatakan letaknya tidak jauh dari tepi sungai Brantas yang dalam catatan sejarah dikenal dapat dilintasi perahu dagang ukuran besar dari negeri asing. Sangat mungkin pula wilayah Galunguɳ pada jaman Panjalu atau setelah keluarnya prasasti, menjangkau sampai tepi sungai Brantas. Jaman dahulu suatu desa atau Duwan memiliki wilayah yang cukup luas tidak seperti desa jaman sekarang.
Belum diketahui sejak kapan nama Panjerejo digunakan. Berdasarkan penelitian sejarah, unsur nama rejo, harjo, yang bermakna sejahtera, maju, atau ramai, baru muncul pada jaman Mataram Islam. Dengan demikian dapat diperkirakan nama Panjerejo muncul pada masa itu. Panjerejo artinya desa Panjer yang rejo atau reja.
Panjerejo Jaman Singasari dan Majapahit
Keberadaan sejarah desa Panjerejo pada masa kerajaan Singasari maupun Majapahit tidak banyak diketahui akibat minimnya sumber sejarah terkait desa ini. Yang dapat dipastikan adalah bahwa pada jaman Singasari sampai Majapahit, kedudukan desa Galunguɳ atau Panjerejo tetap sebagai daerah sima perdikan. Ini terbukti sampai sekarang tulisan dalam prasasti masih dapat dibaca. Jika jaman Singasari dan Majapahit, kedudukan sima perdikan Galunguɳ dihapus, tentunya isi prasasti ini juga kemungkinan besar dihancurkan atau sengaja dihapus supaya tidak diketahui lagi segala hak istimewanya. Jaman dahulu, seorang raja dari masa berbeda kerap menghormati keputusan raja masa sebelumnya sebagaimana yang berlaku bagi sima perdikan Galunguɳ yang sekarang menjadi desa Panjerejo.
Panjerejo Jaman Mataram Islam
Pada jaman Sultan Agung berkuasa di Mataram Islam, daerah Brang Kidul atau selatan sungai Brantas dipimpin seorang tokoh yang dikenal sebagai tumenggung Surontani. Senapati Mataram ini bertugas memimpin daerah amancanegara Wajak. Diperkirakan kedudukan desa Panjerejo masih sebagai daerah perdikan yang dihormati istana meski ada kemungkinan terjadi pengurangan hak istimewa yang telah lama melekat sejak jaman raja Srengga.
Panjerejo Setelah Perjanjian Giyanti
Akan tetapi status desa Galungung atau Panjerejo sebagai daerah sima perdikan sangat mungkin berubah setelah Belanda berhasil menanamkan kekuasaannya di Jawatimur, terutama setelah munculnya perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755M. Pada masa itu, banyak desa perdikan peninggalan jaman kuna yang berubah kedudukannya.
Setelah perjanjian Giyanti, tanah Jawa dipecah menjadi dua, sebagaiam menjadi wilayah kekuasaan Yogyakarta, dan satunya menjadi wilayah kekuasaan Surakarta. Berdasarkan isi perjanjian Giyanti, daerah selatan sungai Brantas terdapat daerah amancanegara Ngrowo dan Kalangbret. Nama kadipaten amancanegara Wajak sudah terhapus. Kedudukan desa Panjerejo pada masa itu secara administrative masuk wilayah kadipaten Ngrowo.
Kabupaten Ngrowo sendiri muncul sejak tahun 1709-1824M. Setelah itu atau sejak tahun 1824M-1901M, kabupaten Ngrowo yang sebelumnya beribukota di Kalangbret, berpindah ibukota di Tulungagung kota sekarang.
Pada tahun 1856-1864, kabupaten Ngrowo dipimpin oleh bupati R.M.T. Soemodiningrat. Pada masa itu Belanda menerbitkan keputusan [1864-stbl] yang menyatakan kabupaten Ngrowo dibagi menjadi dua distrik atau kawedanan yaitu distrik Ngunut dan distrik Tulungagung. Pada waktu itu desa Panjerejo masuk distrik Ngunut —distrik Ngunut memiliki 4 onderdistrik yaitu Ngunut, Banjerejo, Sumbergempol, Kalidawir. Pada tahun 1911, Banjerejo berubah menjadi Rejotangan dan pada tahun 1969, distrik Ngunut bertambah Pucanglaban.
Prasasti bertarikh 20 April 1200M ditemukan Brandes di desa Panjerejo pada tahun 1888M. Masa itu bertepatan ketika kabupaten Ngrowo dipimpin oleh bupati R.M.T. Pringgokusumo yang memerintah antara tahun 1882-1895.
Sejak 1 April 1901 sampai sekarang, kabupaten Ngrowo di Tulungagung telah berganti nama menjadi kabupaten Tulungagung. Hal itu berdasarkan surat keputusan Gupermen atau Beslit Kekancingan G.G. 14/1-1901 no 8, yang menyebutkan terhitung sejak 1 April 1901, nama kabupaten Ngrowo berubah menjadi kabupaten Tulungagung. Peristiwa sejarah ini pernah digunakan sebagai pedoman landasan penentuan harijadi kabupaten Tulungagung, meski kemudian pada tahun 2003 diubah berdasarkan penanggalan prasasti Lawadan yang dikeluarkan raja Srengga atau Kertajaya pada tanggal 18 Nopember 1205M.
Selain prasasti bertarikh 20 April 1200M, di desa Panjerejo juga terdapat peninggalan arkeologi lain. Di dusun Baran, sekitar 1,5 km arah baratlaut makam Soka, terdapat peninggalan arkeologi yang oleh masyarakat dikenal sebagai situs Mbah Panji. Situs ini berbentuk tumpukan batu andesit kuna dan terdapat dua umpak batu segi delapan yang masih utuh. Tidak ditemukan angka tahun dalam situs ini. Tetapi dari jenis batuannya, diperkirakan peninggalan jaman Panjalu Kediri. Apakah ini ada kaitannya dengan keberadaan prasasti Panjerejo, kiranya perlu kajian lagi.
Di makam Soka yang masih satu lokasi dengan berdirinya prasasti juga terdapat peninggalan sejarah berupa nisan kuno berangka 1822-1893M. Menunjukkan seseorang yang wafat pada tahun 1893M. Belum jelas makam siapa. Masyarakat mengenalnya sebagai makam seorang tokoh perempuan yang masih keturunan bupati Trenggalek. Adanya makam atau nisan berbentuk simbar berangka tahun wafat 1893M, dapat diperkirakan bahwa sejak saat itu dilokasi berdirinya prasasti Panjerejo mulai beralih fungsi sebagai makam Islam.
Pemerintahan Desa Panjerejo dimulai sejak tahun 1905, dengan kepala pemerintahan desa pertama yaitu Bapak Tanirejo yang memerintah hingga Tahun 1946. Secara lengkap berikut adalah nama-nama orang yang pernah menjabat kepala desa Panjerejo:
1. Tanirejo Tahun 1905-1946
2. Slamet Tahun 1947-1957
3. Mujito Tahun 1958-1990
4. Saerodji Tahun 1991-2006
5. Minowati Tahun 2007-2013
Penutup
Nama Tulungagung tidak ditemukan dalam prasasti Lawadan. Tetapi karena prasasti ini pertama ditemukan di wilayah kabupaten Tulungagung dan menyebutkan beberapa nama daerah yang sekarang diidentifikasikan berada di Tulungagung, maka prasasti bertarikh 18 Nopember 1205M ini dapat dijadikan pedoman sejarah kelahiran Tulungagung.
Demikian pula dengan prasasti Galunguɳ bertarikh 20 April 1200M. Meski nama Panjerejo tidak tertulis dalam prasasti, tetapi karena pertama ditemukan di desa Panjerejo, maka prasasti ini sangat kuat digunakan sebagai landasan penentuan sejarah berdirinya desa Panjerejo.